Pilih lulus dulu atau bisnis dulu?

Aef Setiawan
3 min readMar 11, 2019

--

Ini hanya ilustrasi, saya belu, seganteng ini. gambar dari unplash

Semalam saya ngobrol singkat dengan investor. Meski singkat, gak sampe 10 menit, bagi saya ini momen penting. Makanya tak tulis, siapa tau ada faedahnya buat umat. Atau minimal sekadar dokumentasi pribadi buat ditunjukin ke anak-anak kalau nanti sudah jadi papa. Tsah!

Pas meeting, kalau bahasa anak startupnya pitching, investor tanya soal bisnis plan dan kapan pedihelp bisa scale-up. Saya bilang aja, 24 bulan berdasarkan rencana awal. Maklum, founder pemula jadi kalau bikin rencana masih nganu.

Beliau bilang itu kelamaan. “Bisa ketiduran saya nunggunya”. Kalau bisa 3 bulan dari sekarang produk sudah bisa scale-up. Wah, tiga bulan. Sudah kebayang nih bakal kerja bagai unicorn. Gak bisa ngopi-ngopi lucu lagi, atau sayang-sayangan semaunya.

Tapi kalau jadi founder, harus siap sih. Kan startup emang kudu tumbuh cepet. Growth, growth, growth.

Pas ketemuan semalam beliau gak nanya nanti dapat untung berapa. Itu nomor dua. Dia pengen pedihelp bisa di skalakan lebih luas karena permintaan besar. Dia minta itu dulu. Wah, benar-benar angel investor hhe.

Karena tau kalau saya belum lulus, beliau tanya saya mau lulus kapan. Saya bilang sebelum ganti presiden, heuheu.

Secara diplomatis beliau dukung. Dua-duanya harus jalan. Ya bisnis, ya thesis. Mungkin beliau tahu tinggal di masyarakat +62, gelar itu masih penting. Kalau gak lulus nanti diocehin sama rangorang, trus bisa depresi.

Meskipun punya gelar sarjana hidup tetap aja blangsak, apalagi kalau enggak punya. Kalaupun nanti gelarnya gak kepake, minimal bisa nyeneningin orangtua atau calon mertua. Ya gak?

Kalau dipikir, hidup ini lucu juga. Hidup saya sih, gak tau kalau hidup kamu. Dulu saya punya rencana kalau kuliah mau jadi Presiden BEM, lulus cumlaude, ambil master di London, biar bisa nonton Arsenal tiap akhir pekan bareng istri solehah, nulis buku trus difilemin kaya mbak Hanum Rais.

Tapi kenyataan berkata lain. Semester pertama masuk gerakan koperasi, belajar ekonomi-politik, belajar filsafat, baca-baca buku kiri, diskusi dari satu meja ke meja lain ngomongin negara.

Nah, Semester empat ngalami krisis eksitensi, gelisah liat hegemoni kapitalisme global.(Oke, cukup-cukup. ini lebay).

Tapi waktu itu memang ngalamin krisis, ntar mau jadi apa ya. Tapi ini bukan karena filsafat eksistensialisnya Sartre atau Kiekergaard. Krisis anak muda biasa, mungkin kamu juga pernah ngalamin. Dan untungnya saat itu saya punya mentor jadi ada yang ngarahin.

Singkatnya, akhirnya saya punya pilihan hidup. Pengen jadi entrepreneur, pengen bangun startup yang berdampak massif secara sosial dan ekonomi. Uwuuwu mulia sekali bukan?.

Dan saya tahu konsekuensinya. Bikin startup itu gak segampang buang hingus. Rumit. Buat lulus juga begitu. Dan konsekuensinya sudah diterima hari ini. Masih jadi mahasiswa di semester 12. Astagfirullah. Haha. Tapi gimana lagi, ini soal pilihan hidup.

Karena faktanya, memilih nyelesain kuliah dulu atau bisnis dulu itu gak mudah. Meskipun dilema kaya gini gak seupil-upilnya sih dibandingin dilema Maudy Ayunda yang bingung pilih Stanford atau Harvard.

Jadi, biasa aja. Gak boleh banyak drama.

Tapi poin penting dari hidup sih, kalau menurut eug, ya harus punya pilihan hidup. Punya visi 10 atau 20 tahun lagi mau ngapain. Meskipun tanpa pilihan hidup manusia tetap bisa hidup, tapi masa jadi manusia gitu.

Terakhir, kalau ditanya mana yang perioritas skripsi atau startup. Tentu saya jawab startup. Tapi tidak perlu khawatir, nanti saya wisuda datang aja. Nanti tak kasih voucher renovasi rumah.

Rumah ya, bukan kosan.

Kereta Ranggajati, 11 Maret 2019

--

--