Mengapa desainer (harus) dibayar mahal

Aef Setiawan
2 min readMar 1, 2018

--

Saya bukan seorang designer atau orang yang punya disiplin keilmuan dibidang itu. Saya hanya suka desain, pernah ngedesain dan ingin jadi desainer.

Saya suka, belajar dan mulai mendesain tiga tahun lalu. Ketika saya masuk menjadi anggota Kopkun. Lalu punya keinginan untuk jadi desainer setahun terakhir.

Untuk alasan terakhir itu, saya magang di tedeka.id. Perusahaan desain yang kantornya kebetulan di sebelah Kopkun. Jadi, saya bisa bulak balik kopkun Tedeka.

Niat saya magang tidak untuk mengejar materi. Tapi untuk meningkatkan pemahaman, baik konsep maupun teknis desain. Selain itu, berada disekitar desainer tentu memiliki efek beda.

Project pertama saya adalah desain brosur dan display picture. Brosur kecil double fold. Display picture ukuran 1000 x 1000 pixels. Ini project sekaligus tantang pertama.

Saya mengerjakan brosur dari pukul 2 pagi sampai 10 pagi. Berapa jam itu ya? Pokoknya sampai mata saya pegal, punggung dan pinggang sakit semua. Dan itu belum termasuk revisi. Jadi, itu belum tentu diterima.

Display picture saya kerjakan mulai jam 16.00 sampai 21.00 berapa jam itu? Males ngitungnya. Pokoknya mata, pinggang dan punggung juga pegel. Kepala mulai pening, setengah berkunang.

Saat proses produksi , revisi desain sampai 6 kali. Mulai dari warna, background, font dan layout. Itupun, kata manajer produksi, masih bisa revisi lagi jika klien tidak bisa menerima.

Saya masih lamban dalam mendesain. Entah karena jam terbang yang masih sedikit, atau karena lain hal. Susahnya desain itu gak cuma soal teknis. Proses kreatif juga butuh energi yang tak sedikit. Apalagi kalau revisi, revisi, dan revisi.

Sampai sini, saya paham. Kenapa desainer profesional teriak-teriak tidak mau dibayar murah. Lelah fisik dan capek pikir. Fisikmu bisa ringsek, pikiranmu bisa stress.

Dan bagi saya, mereka yang menghargai desain murah atau ingin gratis, punya tempat sendiri di sisi neraka.

--

--