Mengapa banyak membaca belum tentu membuatmu lebih baik?

Aef Setiawan
2 min readSep 27, 2019
https://unsplash.com/photos/INEpZ_RSQYM

Pas ngaji di madrasah kampung dulu, pak ustadz sering ngulang hadis soal menuntut ilmu. Mungkin kamu juga sering dengar dengan hadis ini.

Siapa yang belajar ilmu (agama) lantas ia tidak mengamalkannya, maka hanya kesombongan pada dirinya yang terus bertambah.

Waktu ngaji dulu nganggepnya nasihat biasa aja. Terus begitu selama bertahun-tahun kemudian. Gak pernah bener-bener diresapin apalagi direfleksikan.

Dan pas ngopi tadi pagi, saya gak sengaja kepikiran. Tepatnya pas lagi mikir bagaimana habit saya dalam belajar. Kuliah lama tapi kok berasa gak pinter-pinter.

Dalam lima tahun terakhir, sudah sudah membaca buku dengan jumlah yang lumayan. Mulai dari buku cerita nabi-nabi sampai filsafat barat, pernah saya baca. Ikut diskusi dan seminar juga sering.

Kebetulan saya anak desa yang disayang Tuhan. Di Purwokerto diarahin ke lingkungan kultur intelektualnya hidup. Jadi, baca buku dan sama diskusi adalah hal yang biasa.

Lima tahun berjalan. Tapi kayaknya ilmu pengetahuan cuma numpuk doang di kepala. Sebagian diantara tentu sudah lupa. Punya stock of knowlegde yang cukup itu tidak bisa menjamin pencapain kok. Entah pribadi maupun bisnis.

Saya coba periksa epistem berpikir saya dalam setahun terakhir. Karena sumber dari tindakan kita ditentukan dari cara kita berpikir. Nah, saya menemukan polanya begini:

Ilmu untuk ilmu. Ini polanya. Terdengar familiar? Ya. Dalam dunia seni sering disebut : seni untuk seni.

Belajar agama tapi cuma untuk konten di medsos. Belajar ilmu ilmu bisnis, juga cuma jadi konten. Cerita bisnis terus, tapi pernah bisnis aja enggak. Cerita tentang bagaimana menulis yang baik, padahal nulis jelek saja belum.

Kalau dalam bahasa yang ndakik, kondisi ini sering disebut teori tidak bersambung dengan praksis. Dalam bahasa agama, mungkin ini yang disebut punya ilmu tapi gak diamalkan. Gak diamalkan berarti gak bermamfaat.

Simple konsepnya.

Media sesial memang tempatnya keriuhan. Lebih riuh daripada gerombolan babon di Afrika. Penyumbang keriuhan adalah konten yang menceritakan ulang pengetahuan ulang di medsos.

Kalau baca buku, trus nemu sesuatu yang baru, secara insting kita akan senang. Dan sudah manusiawi pula menyampaikan kesenangan itu pada banyak orang.

Tapi saking asyiknya menceritakan, dan orang di media sosial memberikan respon, kamu akan terus terpacu menggali hal baru. Tapi sayangnya tidak ada niatan untuk mempraktikan.

Ini beda cerita lho ya, menceritakan ulang teori sebagai bahan diskusi sebagai kerangka membangun wacana. Kalau ini sih bagus.

Ada satu isi ceramah cak nun yang saya suka tentang salah satu konsep Islam. Yaitu tentang kebermafaatan. Hidupmu itu harus bermafaat, termasuk ilmu pengetahuan yang kamu punya.

--

--