Kerja dan Eksistensi

Aef Setiawan
2 min readNov 14, 2019

--

Ada teman saya yang sudah kerja. Dia orangnya rajin dan pintar. Kuliahnya cepat. Gak lama setelah lulus, dia dapat kerja bagus dengan bayaran bagus. Barangkali, dia termasuk segelintir fresgrad yang beruntung.

Belakangan, dia pengen keluar dari kerjaan. Meski bayaran bagus, tapi merasa jenuh dan berasa gak ‘hidup’ . Pengen kerja di tempat dimana dia merasa ‘urip iku urup’.

Diluar sana, banyak orang mengalami kondisi semacam ini. Ternyata kerja gak melulu soal gaji, tapi juga soal makna hidup. Kalau bahasa Jean Paul Sartre, soal eksistensi.

Salah satu kritik Karl Marx atas kapitalisme adalah sistem kerja. Buruh yang kerja dalam waktu yang panjang di dalam pabrik akan terasing dan kehilangan makna atas apa yang dikerjakannya.

Kehilangan makna atas apa yang kita kerjakan, namanya alienasi. Kondisi dimana kamu merasa terasing dari apa yang dikerjaan. Dapat duit sih, tapi gak hepi-hepi amat. Semacam ada yang kurang….

https://unsplash.com/photos/ox82rWJcRno

Saya lahir ke dunia tanpa makna. Cuma seonggok daging yang kebetulan bernyawa. Dan, semua bayi saya kira lahir dalam kondisi yang sama. Dalam masa ini, eksistensi seorang bayi ada ditangan orangtuanya.

Tapi ketika seorang bayi sudah memiliki akal, eksistensinya ditentukan oleh dirinya sendiri. Dia yang harus mencari makna dan tujuan atas hidupnya sendiri. Upaya mencari makna atas namanya proses eksistensi.

Ketika sudah dewasa, ia sudah harus bekerja. Di fase ini orang menghabiskan sebagian besar sisa usianya. Sehingga kerja adalah bagian dari eksistensi, bagian dari proses pencarian makna hidup.

Maka, wajar kalau sudah kerja dan dapat gaji, tapi kehilangan makna atas apa yang dikerjakan jadi merasa gak betah. Karena kehilangan makna berarti kamu kehilangan eksistensi. Kalau eksistensimu hilang artinya dirimu juga sudah “gak ada”.

Sudah gak “hidup” meskipun masih hidup. Haaa… mumet yaa.

--

--