Dialektika Kolektif

Aef Setiawan
2 min readFeb 3, 2019

--

Dalam dua tahun terakhir, saya mulai malas berbicara atau mendengar wacana-wacana koperasi atau hal-hal yang bersifat teoritik dan konseptual. Disisi lain, saya juga males dengar praktik koperasi karena cerita dan masalah koperasi itu dimana-mana sama saja.

Tahun lalu, saya menghadiri event platform cooperative di Hongkong, pembicaranya praktisi dan teoritisi koperasi kelas global. Tapi wacana dan kisah praktik koperasinya sama aja kaya di Indonesia. Ealah, gitu doang. Gak ada eureka-eurekanya sama sekali saya pergi ke sana.

Bahkan, ketika kami mengajukan konsep startup koperasi (startup coop) di forum penjelasan mereka gak mashook.Bahkan kemarin kata Mba Novita, ketika video call dengan pentolan gerakan platform koperasi internasional, dan mengajukan konsep startup coop, mereka juga tetep gak mashook.

Mmmm.. mungkin konsep startup coop dah terlalu maju kali ya. Dan, konsep itu dari orang-orang gerakan koperasi Indonesia lho. wah..wah..

Balik lagi ke topik awal.

Saya berpendapat wacana dan praktik koperasi begitu-begitu aja, muter-muter di tempurung yang sama, karena tidak ada dialektika kolektif antara aktivis atau akademisi dengan praktisinya. Sehingga secara ilmu pengetahuan dan praktik koperasi tidak berkembang.

Bagi aktivis, koperasi punya nilai yang adiluhung dan harus diperjuangkan untuk mengubah tatanan dunia yang lebih baik. Sementara bagi praktisi, koperasi itu soal bagimana kamu membangun sebuah perusahaan yang revenue nya cukup buat kasih makan anggotanya dengan layak.

Tapi ya aktivis ya aktivis, praktisi ya praktisi. Aktivisnya tiap hari khotbah soal kesejahteraan di mimbar-mimbar seminar atau di dinding-dinding media sosial. Sementara praktisi masih beranggapan bahwa sistem Sisa Hasil Usaha sebesar 50 ribu rupiah per tahun bisa mensejahterakan orang sekampung. Mbel…

Frederich Engels, Sohibnya Karl Marx, pernah bilang kaya gini. Meskipun gak sama persis sih:

“Pengetahuan berkembang seiring praktik”.

Lalu apakah jumlah orang yang mempraktikan koperasi sedikit? Gak juga, banyak sebenarnya. Tapi kenapa praktik tidak mempengaruhi pengetahuan koperasi secara signifikan? Ada banyak penjelasan sih, salah satunya bisa jadi karena belum ditemukannya metode kolaborasi antara akademisi dan praktisi.

Yang praktisi cendrung sinis dengan yang akademisi karena cuma berbicara teori. Sebaliknya yang akademisi melihat praktisi seolah tidak berpraktik sesuai dengan teori kerja seharusnya. Dalam keseharian, hal-hal sederhana kayak gini itu nyata.

Praktisi meminta akademisi mempraktikan teorinya. Yang akademisi menantang praktisi untuk menteorikan praktiknya. Kita gak bisa begitu terus tentunya. Perlu dicari metod kolaborasi yang tepat antara akademisi dan praktisi, agar terjadi proses dialektika kolektif antara keduanya.

Sehingga nanti akan muncul pengetahuan-pengetahuan koperasi yang lebih segar.

--

--